(Bagian 2) Cinta, Haruskah sama?

3/18/2017

Sebelumnya : (Bagian 1) Cinta, Haruskah sama?

"Aku tahu alasanmu merokok kali ini." Ucap Dewi setelah beberapa kali sengaja kuarahkan asap kearahnya.

"Kenapa?" Jawabku datar.

"Kamu tahu, aku akan segera pergi saat kamu membakar rokok. Dan saat ini jelas kamu ingin mengusirku." Jawab Dewi kesal. Andai ia tahu bahwa membuatnya kesal, malah membuat dia menampilkan wajah serius yang elegan.

"Tidak, ini rokokku pertama hari ini. Bisa kamu bayangkan?"

"Tidak. Seharusnya jangan, paling tidak saat pergi bersamaku. Aku ingin pertemuan kali ini tidak berhenti ketika ia terbakar." Kata Dewi sambil menunjuk benda yang mengeluarkan asap di tangan kananku.

"Baiklah. Apa yang ingin kamu bicarakan?" ucapku setelah mematikannya.

"Menurutmu apakah aku harus bertemu pria itu?" kata Dewi mencoba membuat kalimat yang terdengar biasa. Padahal aku tahu tujuannya. Dia ingin aku melarangnya, dan ia ingin aku mengajaknya ke puncak bersama teman-temanku.

"Aku punya dua pilihan buat kamu, bertemu dengan pria itu atau besok subuh kita ke puncak. Ada pertemuan rutin bulanan teman-teman SMA ku" ucapku. Setelah ku selesaikan kalimatku. Dia tersenyum menampilkan gigi gingsul, dan mengajakku ke masjid untuk solat zuhur. Syukurlah aku ingat.

Sebetulnya kondisi aku dengan wanita imut yang segara sedang menggenggam tanganku ini cukup rumit. Bahwa hanya ada dua pilihan bagi kami, mengganti tuhan kami, atau mencari pasangan yang memiliki tuhan dengan panggilan yang sama. Pilihan pertama jelas bukan pilihan yang akan dilaksanakan bagi orang yang masih beribadah. Dan pilihan kedua, harus aku akui, lebih masuk akal. Tapi melihat kondisi kami, aku rasa itu akan sulit.

Kondisi kami pernah lebih buruk. Ketika aku beribadah, Dewi menunggu di parkiran. Mungkin bagi beberapa jemaah melihat gadis berkerudung yang sering berada di parkiran gerejanya bukanlah bentuk toleransi umat beragama. Beberapa pernah meneriaki, meminta satpam untuk mengusirnya, bahkan ada seorang ibu-ibu yang menuduh bahwa ia membawa bom dibalik kerudungnya.

Aku ingat juga, kami pernah hilang kontak beberapa hari perihal masalah tadi. Karena aku cukup bodoh berkata "Yaudah kalo kamu nemenin aku ibadah lagi, kerudungnya dibuka aja."

Aku baru tahu bahwa jika kamu wanita, kamu belum menikah, serta fakta bahwa kamu adalah muslim. Setiap helai rambut yang dilihat oleh orang lain akan menghasilkan dosa yang ditanggung oleh ayahmu. Dan dia mengakhiri pidatonya dengan kalimat yang membuatku semakin paham ajaran agamanya. "Hal kayak begini enggak bisa dibecandain, Han!!." Dia menggunakan penekanan ditiap diksinya. Padahal, pacaran juga dilarang keras dalam ajaran agamanya. Untungnya dia tidak mempermasalahkan hal itu. Syukurlah.

Dewi pernah menyinggung perbedaan kamu, tentang ia yang menyesal bahwa dia tidak menemukan pria dengan hidung mancung, serta suara berat tapi memiliki tuhan yang sama dengannya. Ia mempersoalkan alasan kenapa tuhanku yang bersekongkol dengan tuhannya untuk mempertemukan kami. Padahal ia mengikuti banyak kegiatan.

"Mungkin karena kamu enggak tulus ikut pengajian, jadinya enggak ketemu deh sama pria yang satu tuhan denganmu" jawabku kala itu, ditambah beberapa kalimat yang aku pilih agar tidak terkesan bermain-main di lingkup yang terlalu sensitif itu.

"Mungkin, tapi harusnya ada dong. Aku selalu pakai warna kesukaan semua pria, hitam." Katanya polos.

Aku tertawa, bukan karena ia polos, tapi karena terimakasih kepada sang tuhan tidak memberinya ide menggunakan baju warna hijau tosca yang membuatnya sangat mempesona seperti saat ini. Baju ini juga yang ia gunakan saat pertama kali kami bertemu.

"Kamu kok malah ketawa si?" Tanya Dewi dengan tatapan yang seharusnya membuatku takut, yang terjadi malah ia mempesona bagiku.

"Kamu enggak perlu melakukan hal khusus untuk memikat pria lain, kamu hanya butuh sikap supel mu, senyum mu, dan beberapa cerita menarik mu saja. Dan beberapa pria mungkin akan berakhir dengan meminta nomormu" ucapku, mencoba bersikap datar akan pembahasan waktu itu.

"Jika ada seorang yang berhasil dan meminta nomorku. Apa yang akan kamu lakukan?" jawab dia memancing.

"Aku akan membuatnya berjanji tidak akan melukaimu. Jika ia melanggar janjinya, mungkin ia akan merasakan beberapa sundutan rokok kesayanganku" Jawabku cukup angkuh.

"Aku suka, setiap kali kamu seakan sangat membelaku."

"Apa? Seakan?"

"Kamu tidak pernah benar-benar membelaku. Ingat teman seangkatanmu, yang mencoba mendekatiku? Kamu tahu dia mencoba menciumku di kencan pertama kami. Tapi kamu tidak pernah menghardiknya." Semua wanita memang pengingat yang menyebalkan.

"Dia orangnya royal. Setiap nongrong selalu saja dia yang bayar. Tentu aku tidak ingin kehilangan teman seperti dia." Jawabku waktu itu, mencoba melindungi diri.

"Kamu lucu kalo lagi nyari-nyari alasan" kata Dewi sambil tertawa dan mengelus tangan kananku. Dan kami pun menyelesaikan pertemuan waktu itu dengan tawa, dan beberapa hal menyenangkan lainnya.

Kembali ke kondisi saat ini.

Sampailah kami di masjid, letaknya di parkiran. Aku memilih untuk mencari tempat terbuka, membakar rokok, dan merenung akan kami yang tampaknya tidak punya masa depan. Menunggu Dewi selesai beribadah butuh beberapa batang rokok. Ia butuh waktu 20-30 menit untuk menyelesaikan ritualnya. Salah satu hal yang paling aku syukuri dari perbedaan diantara kami.


Akan berlanjut, percayalah.


Seorang guru muda yang akan selalu belajar dari peserta didiknya, karena "Pembelajaran tidak hanya terjadi dari guru ke peserta didik, namun sebaliknya pun demikian".
Terimakasih Sudah Membaca

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

12 kicauan

Write kicauan
19 Maret 2017 pukul 05.48 delete

Wih, mantep ceritanya bang Dicky. Kayak penulis-penulis Wattpad. Baru baca bagian yang ini nih.

Reply
avatar
andi nugraha
AUTHOR
19 Maret 2017 pukul 08.09 delete

Makin penasaran dengan kelanjutannya nih, Mas. Tak tengok bagian satunya dulu, tapi waktu itu udah sempat baca, belum sempat meninggalkan jejak aja :)
Betul tuh kata Robby, kaya penulis di wattpad..hehe

Reply
avatar
Dicky Renaldy
AUTHOR
19 Maret 2017 pukul 10.28 delete

Apakah maksudnya saya terkesan plagiat? Soalnya agak sensitif masalah itu.

Tapi makasih loh sudah meninggalkan jejak. Semoga menjadi pembaca setia :)

Reply
avatar
Dicky Renaldy
AUTHOR
19 Maret 2017 pukul 10.28 delete

Waduh semoga artinya bukan plagiat ya Rob.

Makasih untuk 'Wih, mantep ceritanya bang Dicky'

Reply
avatar
19 Maret 2017 pukul 13.53 delete

Seperti itukah penolakan dan pemikiran skeptis orang non muslim melihat mereka yg muslim? Diidentikkan dengan kengerian, teror dan fanatisme? Oh Indonesia, perbedaan tidak harus menjadi penghalang :)

Reply
avatar
Puti
AUTHOR
19 Maret 2017 pukul 21.44 delete

aku setuju, akalu cinta beda agama itu adalah cinta yang tidak punya masa depan. harus ada salah satu yang mau berkorban, dan aku rasa itu sama-sama berat bagi keduanya.
aku pernah ngalamin hal yang sama. jadi,daripada dilanjut, lebih baik sudahi sebelum terlanjur melangkah jauh.

ditunggu kelanjutannya ya bang.. :))

Reply
avatar
20 Maret 2017 pukul 07.29 delete

Wah aku kira ini bukan cerpen. Taunya cerpen, dan bahasanya bagus.. ajari aku dong kak diki. Sudah lama aku tidak menulis cerita macam cerpen ini hehe

Reply
avatar
Dicky Renaldy
AUTHOR
25 Maret 2017 pukul 22.36 delete

Padahal ini cuman cerpen.

Aduh berat emang..

Reply
avatar
Dicky Renaldy
AUTHOR
25 Maret 2017 pukul 22.37 delete

Terimakasih sudah membaca.

Jadi semangat.

Reply
avatar
Dicky Renaldy
AUTHOR
25 Maret 2017 pukul 22.37 delete

Yaudah sini ke rumah kalo emang mau dijarin...

Reply
avatar

Komentar tanpa moderasi tapi saya akan perhatikan setiap komentar.
I Love your comment EmoticonEmoticon