Sesuaikan dengan Inginmu?

11/02/2021
"Ah anaknya tak selucu yang dia harapkan" ucapku kegirangan kepada Dewi siang tadi. 
"Jangan seperti itu, Anwar" balas Dewi.
"Tapi memang begitu adanya, Dew." balasku sekali lagi dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan.
"Semua anak unik, tidak ada yang lebih lucu, lebih manis, lebih tampan atau cantik dibandingkan yang lain, Wan. Lagi pula umurnya pun baru tiga bulan." kata Dewi sekali lagi.
"Oke, tapi lihatlah. Untuk seorang anak berusia 3 bulan dia tak semanis kebanyakan bayi. Kayak jutek dari lahir." 
"Cukup, War. Aku menyesal memperlihatkannya kepadamu." Dewi menarik ponselnya.
"Ya aku hanya ingin tau bagaimana anaknya. Ya tak secantik yang dia harapkan dulu, titik."

Mungkin kamu membenciku setelah dialog barusan. Siapa pula yang tidak menyukai bayi, mereka imut dengan beragam tingkah lakunya, mereka akan mengundang tawa, cinta, dan candu bagi siapapun yang melihatnya. 
Ini akan masuk akal ketika kamu mengetahui cerita utuhnya. Akan aku ceritakan dari awal. Semoga kamu memihakku.

Beberapa tahun yang lalu.
Aku sedang berada di stasiun Bogor kala itu. "Maaf untuk sementara kereta api tujuan Jakarta Kota masih tertahan di stasiun Manggarai." ucap speaker di sudut stasiun sejam yang lalu, begitu pula beberapa detik yang lalu. 

Sembari harap-harap cemas, karena aku akan telat di hari pertama kerjaku. Aku mencoba mengalihkan pandanganku ke sekeliling stasiun besar itu. Ada beberapa wanita yang sedang saling bicara di salah satu sudut, tak jauh dari mereka ada seorang mahasiswa yang sedang fokus bermain di ponsel nya. 
Sedang asik menebak-nebak permainan apa yang mahasiswa itu mainkan, ada sebuah botol menggelinding ke arahku, botol berwarna biru dengan ukiran sebuah kata di sisinya. Seorang wanita berbicara ke arah ku "Maaf ya, terjatuh".
Aku membalas senyumannya dan berkata pelan "Iya tidak apa-apa."

Sebulan setelahnya
Ini hari gajian pertamaku. Aku ingin sedikit merayakannya dengan beberapa botol sebelum pulang. Tapi aku berusaha untuk tetap sadar saat pulang.
"Hai" aku kaget. Tiba-tiba ada suara wanita yang menyapa dari arah belakang.
Tampaknya aku mengenali botol yang dia pegang, berwarna biru dan ukiran yang setelah di perhatikan adalah sebuah nama. Sial minuman yang aku teguk tadi membuat otak ini lebih lama berkerja. Cukup lama kami terdiam, ditambah dengan udara dingin ibukota membuat suasana yang tidak nyaman.

"Hai juga"
"Sepertinya kita pernah bertemu"
"Mungkin di stasiun kereta. ada wanita yang menjatuhkan botol itu" ucapku sambil menunjuk botol yang dipegangnya. Otak ini sudah mulai bisa mengimbangi situasi.
"Ternyata benar, aku sering melihatmu di stasiun dan tampaknya kita bekerja di gedung yang sama. Aku Intan. Kamu siapa?" ucap wanita itu sambil tersenyum yang seperti menyeringai.
"Panggil aku Anwar." ucapku setengah sadar.
"Kamu belum pulang?"
"Gajian pertama hari ini. Sedikit perayaan." ucapku 

Beberapa hari setelahnya aku sempat bertemu dengan Intan di stasiun atau saat keluar dari gedung saat makan siang. Kami hanya saling tersenyum dan sesekali menyapa. Sampai beberapa hari kemudian aku memberanikan diri menyapa dan meminta nomor ponselnya. Sebulan setelahnya kami semakin akrab dan memutuskan menjadi yang spesial satu sama lain. Kami tinggal cukup dekat, keseharianku setelahnya adalah menjemput Intan lalu bersama menuju stasiun. Itu adalah masa-masa ketika aku tidak benar-benar membenci pekerjaanku.

Aku masih ingat, aku dan Intan beberapa kali pergi liburan bersama. Setelah intan memaksaku untuk menyimpan uang, "Kita jalan jalan yuk, kamu simpan uangmu di sini ya" katanya sampil memberi secarik kertas berisi nomor rekening. "Pokoknya kita harus rajin jalan-jalan. Kita kan udah dewasa sudah punya penghasilan sendiri masa pacaran cuman makan sama ke mall aja si, perlu yang jauh biar kita saling kenal. Dan semakin terikat gitu" ucapnya malu-malu kala itu.

Tak disangka kami sering pergi bersama, entah bersama teman atau keluarga besar. Kami pernah dua hari mendaki gunung bersama. Saat itu aku baru sadar bahwa walau Intan tipikal wanita yang manja, tapi dia bisa menjaga dirinya tanpa menyulitkan rombongan.

Wanita itu juga suka ke pantai, ya siapa pula yang tak menyukai pantai. Kami pernah berjam-jam hanya duduk di pinggir pantai menikmati ombak dan anginnya. Tak ada keinginan untuk pergi. Kami pernah menginap di sebuah pulau tak jauh dari ibukota, walau sebenarnya aku mabuk laut tapi dengan Intan, mabuk laut tampak sepele.

Aku belum menceritakan alasan aku menyukai Intan, kamu harus tau bahwa Intan punya wajah yang manis dengan tinggi badan diatas rata-rata wanita Indonesia, berat badannya pun akan membuat siapapun di sekitarnya merasa tidak percaya diri. Ia selalu punya baju yang cocok untuk kulitnya, dan aroma yang ia pancarkan ke orang sekitarnya selalu tampak cocok dengan dirinya.

"Hai, hari ini kita pulang bareng?" ucapku entah kapan
"Boleh, tapi aku ada janji sepulang kerja. Kamu mau tunggu? Hanya beberapa jam."
"Baiklah. Kita bertemu di stasiun" ucapku sembari menutup telpon.

Aku sengaja menahan diri di ruangku karena tak ingin lama-lama menunggunya di stasiun. Aku pulang sejam lebih lama dari yang seharusnya. Sengaja memilih rute yang memutar, dan berhenti hanya untuk menikmati senja ibukota alih-alih menunggu Intan di stasiun.
Sejam sudah aku menunggunya di stasiun, ada pesan masuk darinya.

"Tampaknya Aku pulang lebih lama, kalau kamu ingin pulang lebih dulu. Tidak apa-apa."
"Kamu bisa pulang sendiri?" balasku
"Nanti minta adikku untuk jemput di stasiun."
"Baiklah, jangan pulang terlalu malam ya"
"Baiklah, sayaaaaannngggggg" begitulah pesan terakhirnya sebelum aku memutuskan untuk pulang lebih dulu kala itu.

Setelah aku ingat-ingat kejadian tadi menjadi awal kami berdua semakin jarang bertemu. Karena sudah bersama lebih dari setahun aku merasa mungkin jarak yang secara tidak sengaja tercipta ini wajar adanya. 

Namun kelamaan setiap saat ada saja alasan Intan untuk tidak bertemu "Aku harus masuk lebih pagi hari ini" "Ada yang harus di selesaikan. Pulang saja lebih dulu. Aku tak ingin kamu menua di stasiun, heheh" "Aku sebenernya kangen banget sama kamu, cuma tugas ini harus di selesaikan sebelum aku cuti. Ingat minggu depan kita jalan-jalan" Atau sekadar "Aku sedang sibuk."

Aku memahami, karirnya sedang berkembang. Aku hanya ingin bersikap sebagai pasangan yang mendukung. Dua bulan berlalu dengan kondisi yang seperti ini, aku masih cukup yakin bahwa keadaan ini benar adanya. Dan akan membaik seiring waktu tanpa berusaha aku perbaiki.

Keadaan kami semakin parah. Ia lebih sering pergi bersama teman kantornya. Banyak rutinitasnya yang luput dariku. Intan mulai sering mengakhiri telpon kami tiap malam lebih dulu, atau mempersingkat durasi pertemuan.
Hingga suatu saat Ia menghubungiku
"Kamu hari ini pulang seperti biasa?"
"Tentu, kerjaanku sudah selesai. Bertemu di bawah?"
"Boleh. Sepuluh menit lagi kita bertemu. Aku kangeeeeeen banget." ucapnya seraya membuat suara yang seperti sedang mencium.

"Kita makan di tempat biasa yuk." ucapnya ketika kami bertemu di lobi. Sepuluh menit kemudian kami sedang asik menyantap makanan pesanan kami. Tanpa basa-basi Intan mengucapkan kata kata yang seharusnya sudahku tebak saat kami mulai merenggang.

"Aku mau kita sampai sini aja ya."
"Maksud kamu? Nanti pulang sendiri?" ucapku kala itu, walau aku sudah paham arah pembicaraan kami.
"Aku mau hubungan kita sudah sampai sini aja, war." jawabnya kala itu
Aku masih ingat benar-benar yang terjadi selanjutnya, dia mencoba mengeluarkan semua hal yang menjadi alasan ia menghilang belakangan. 

Baginya aku tak paham bahwa ia menjauhiku bukan karena pekerjaannya bertambah banyak, bukan. Jelas bukan. Katanya kala itu.
Tapi karena ia sudah tidak merasa seperti dulu. Tidak ada gairah gairah yang muncul tiap kali kami bertemu, sudah tak mengebu-gebu, bahkan ia tanpa ragu bilang yang rupaku tak seperti dulu. Katanya beratku kian bertambah, kulitku tidak sebersih saat awal-awal kami bersama. Sifatku yang dulu menjadi alasan dia menyukaiku sekarang malah membuatnya kesal. Dari semua kata yang keluar dari mulutnya ada satu kalimat yang cukup menyakitkan kurang lebih seperti ini "Jika kita menikah nanti aku takut anakku tak akan selucu ...." 

Aku hanya ingat sampai bagian itu, setelahnya hanya ada suara-suara dengung di telingga ku, hatiku jatuh ke tanah, seakan semua organ tubuhku ingin keluar dari tempatnya setelah seseorang berkata seperti itu padaku, lebih-lebih orang itu adalah Intan. Padahal awalnya aku merasa beruntung berkesempatan memiliki dan membuat kisah dengannya, tapi rasanya aku juga tak pantas memiliki akhir yang seperti ini, Kan?

Aku masih ingat setelah ia tanpa ragu mengucapkan kalimat tersebut. Aku langsung bangun dari kursiku. Meletakkan beberapa lembar uang, dan langsung keluar dari tempat itu. Aku tidak menoleh. Aku tau apapun yang aku katakan tidak akan mengubah tekadnya, dan kalimat terakhirnya membuatku makin yakin untuk tidak berusaha sama sekali atas hubungan yang sudah di penghujung ini. "Terimakasih sudah menunjukkan dirimu sesungguhnya, sebelum kita terlalu jauh." batinku saat itu.

Beberapa bulan setelah kejadian paling memilukan tadi, aku semakin jarang melihat Intan di hidupku. Aku jarang melihatnya di stasiun, di kantin, atau di lobi tempat biasanya kami saling berjumpa bahkan sebelum menjadi sepasang kekasih. Aku tak tau apa yang terjadi padanya serta tak ingin mencari tau apa yang terjadi padanya.

Kembali ke dialog aku dan Dewi.
"Dew, aku hanya mengejeknya. Lagi pula anak kita pasti akan lebih lucu dari anak siapapun." Kataku kepada istriku tercinta, Dewi. Ia sedang hamil. Beberapa minggu lagi kami akan bertemu dengannya.

Seorang guru muda yang akan selalu belajar dari peserta didiknya, karena "Pembelajaran tidak hanya terjadi dari guru ke peserta didik, namun sebaliknya pun demikian".
Terimakasih Sudah Membaca

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Komentar tanpa moderasi tapi saya akan perhatikan setiap komentar.
I Love your comment EmoticonEmoticon