Unintended

4/21/2014
Entah ini postingan apa, bisa sebuah penyesalan atau sebuah postingan pengikhlasan. Tapi ini tentang kamu, tentang kita yang mungkin telah mati.
Entah apa yang ada dibenakmu ketika pada akhirnya kamu menyadari aku menulis ini, sebuah pengibaankah yang keluar? 
Atau mungkin malah makin membuat kamu yakin dengan putusanmu kala itu? 
Yang jelas aku ingin menekankan sesuatu ‘yang pernah ada tidak akan pernah benar benar hilang atau belum tentu bisa benar benar digantikan’.

Maaf untuk seseorang disana yang mungkin juga membaca ini. Aku bukan tak ingin lepas, aku hanya ingin dia tau bahwa yang pertama mungkin akan paling berkesan. Yang pertama sialnya akan selalu menjadi pembanding. Yang pertama, ya yang pertama. Akan selalu membanggakan....

Aku tau ini akan membuatku makin lemah di matamu, aku tau. Sungguh tau apa dampaknya nanti. Tapi aku hanya ini melampiaskan ini pada satu satu yang aku punyai, pada satu satu nya yang tidak tertawa ketika aku mungkin menangis tersedu sedu.......
Sudah tiga minggu kita lepas, akhirnya akupun harus menyandang lagi gelar yang sudah melekat selama 19 tahun. 
Ternyata 3 minggu ini lebih terasa lama daripada 19 tahun yang dulu aku jalanin begitu aja.

Kamu harus tau bahwa pada hari itu aku hancur berantakan. Bagaikan sebuah gelas beling yang dibanting ke lantai dengan sekuat kuat nya, berkeping-keping, berserakan ke mana-mana hingga menjadi bagian paling kecil. 
Sedih, kangen, sayang, marah, bingung, kaget, penyesalan dan sejuta perasaan lainnya bercampur aduk jadi satu dalam ramuan yang membuat siapapun sakit dan ingin berlari sejauh-jauhnya...

Namun aku belajar dari sebuah pengamatan. Bahwa seorang wanita yang baik hanya untuk pria yang baik. Begitupun sebaliknya. Mungkin itu kita. Aku atau kamu yang terlalu baik untuk yang lainnya.

NAMUN, Lagi Lagi...
Aku ingin mengakui sesuatu. Sejujurnya aku rindu kamu. Rindu semua yang ada di kamu. Rindu saat kamu lagi cinta cinta nya sama aku. Rindu ketika kamu sangaat bergantung sama aku.
Rindu saat saat kita bisa berlama lama santai saja. Bicara tanpa tau intinya apa. Ya aku rindu. Tapi toh aku juga harus merelakan kamu. Karena pantaskah sebuah buku yang telah menampilkan epilog di halaman terakhirnya kemudian menampilkan prolog lagi?
Aku tak tau harus bagaimana. Saat ini.

Aku pencatat, taukah kamu tentang itu?
Kamu pernah bicara sesuatu yang aku catat. Mungkin bahkan seseorang pengingat seperti mu tak mengingat pernah berkata seperti ini.
"Aku mencoba untuk enggak terlalu sayang pas kamu lagi enggak chat"
Kamu tau, aku yang dulu lagi cinta saja bisa sakit tak karuan, bagaimana ketika aku membacanya seperti saat ini.....
Mungkin dulu aku tidak punya otak, dan kamu tidak punya hati.

Gabakalan solat di masjid itu lagi kah?
Sedikit konyol memang, aku rindu lingkungan yang bagiku dulu sangaat asing itu. Lingkungan yang bahkan aku tidak tau aku akan bisa mengetahui seluk beluk disana. 
Namun, yang paling aku rindu adalah masjid itu. Masjid tempat aku biasanya solat ashar atau magrib. Masjid itu seperti kebanyakan masjid, hanya saja masjid itu bersebelahan dengan sebuah pesantren. Jadi ketika solat berjamaah disana aku akan bersama sama dengan santri yang ketika selesai akan mencium tangan gurunya dengan sangaat sopan. Jika guru nya masih duduk mereka akan menghampiri guru tersebut sambil berjalan duduk (kamu ngertikan maksud ku?)....

Udah deh gitu aja dulu, gue gamau makin keliatan rapuh, fyuuu

Seorang guru muda yang akan selalu belajar dari peserta didiknya, karena "Pembelajaran tidak hanya terjadi dari guru ke peserta didik, namun sebaliknya pun demikian".
Terimakasih Sudah Membaca

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Komentar tanpa moderasi tapi saya akan perhatikan setiap komentar.
I Love your comment EmoticonEmoticon