Sebulan di Kelas 1 Bulan

9/11/2018

Hari kemerdekaan yang telah berlalu. Namun, saya rasa masih cocok bagi saya untuk menceritakan pengalaman merayakan Kemerdekaan. Nah perayaan Kemerdekaan kemarin tepat satu bulan (16 Juli-16 Agustus) sejak awal tahun pelajaran dimulai, dan tahun ini saya mengajar di kelas 1 Bulan.  Jadi enggak salah dong saya pakai judul itu. 😎

Tapi ada yang berbeda dari postingan ini. Kali ini tulisannya tidak berasal dari saya, tapi dari salah satu wali murid saya. Ia menceritakan bagaimana pengalaman pertamanya sebagai orang tua dalam merayakan Kemerdekaan di sekolah. Tentunya dengan sedikit edit, baik untuk merahasiakan identitas maupun untuk menyesuaikan dengan gaya bahasa blog ini.

Sebelum membaca postingan ini sampai bawah, saya ingin menjelaskan kalo Lotus itu adalah nama acara yang diselenggarakan sekolah saya dalam menyambut momen kemerdekaan Indonesia. Lotus sendiri adalah akronim dari Lomba Tujuh Belas Agustus, walaupun kenyataannya dilaksanakan sehari sebelumnya 😋

Selamat menikmati.

by the way mohon maaf jika beberapa foto tidak nyambung dengan teks 😜

Menjadi Orang Tua Merdeka
Pada tahun ini, Alhamdulillah anak kami, diberikan kesempatan untuk bersekolah di SD Labschool Cibubur. Sebulan ini, saya dan istri menjalani peran emak dan bapak yang menemani masa-masa awal bersekolah, seperti orang tua pada umumnya. Walaupun baru sebulan, nyatanya banyak cerita dan insight yang kami dapatkan. Tulisan ini, pada dasarnya merupakan ucapan terima kasih kami kepada Allah, karena telah memberikan lingkungan sekolah dengan iklim komunikasi yang terbuka. Sejak awal, pihak sekolah secara clear menjelaskan harapan keterlibatan orang tua dalam mengawal proses sekolah anak-anaknya. Saat orientasi orang tua, banyak bapak-bapak mendampingi istrinya menghadiri pembekalan dari sekolah. Ditengah banyaknya fenomena atau problem parenting karena ketidakhadiran (baca: keterlibatan) ayahnya, orientasi kemarin memberikan angin segar optimisme bahwa sekolah bukan hanya urusan emaknya doang, tapi juga urusan bapake

Kemarin kami baru selesai kegiatan LOTUS (lomba 17 Agustus) yang diadakan sekolah. Bisa dibilang ini acara besar pertama yang dirasakan oleh anak-anak kami, setelah kegiatan Marshmellow (orientasi). Acara kemarin terbukti sukses ‘menguji’ kekompakan para emak dan bapak di kelas kami, kelas 1 bulan. 

Bayangkan, hanya dalam waktu 3 hari persiapan, seluruh orang tua bahu membahu menyukseskan kegiatan tersebut. Saya sangat terharu melihat berjibakunya para orang tua. Bagi orang tua yang punya keluangan waktu, mereka datang langsung ke sekolah; mendekorasi, membuat properti kelas, hingga menyiapkan tumpeng Asian Games yang ciamik. Bagi yang ada keterbasaan, dengan semangatnya setiap emak dan bapak langsung menawarkan bantuan patungan sumber daya dan ide yang bisa dikerjakan dari rumah. Kreativitas emak dan bapak ini juga berhasil melibatkan anak-anaknya dalam dekorasi; mewarnai, membuat komik, menulis, dan semua yang bisa dilakukan anak-anak. 

Tumpeng yang bikin kelas Bulan Juara 1 Lomba Tumpeng antar kelas.


Bagi kita orang tua yang hidup di era Millennial (sekarang: generasi Z), tak jarang kegiatan-kegiatan kebersamaan seperti ini malah berubah menjadi jebakan-jebakan ‘prestasi’, ‘kompetisi’, ‘orang tua paling hebat’ dan lain sebagainya. Kita jadi melupakan esensi untuk memberikan kebahagiaan dalam prosesnya, dan semangat kebersamaan dalam mencapai tujuan. Nilai-nilai seperti berbagi, partisipasi, apresiasi terreduksi dalam ukuran-ukuran artifisial dengan balutan popularitas. 

Dari yang datar sampai paling ekspresif


Sedikit flashback, ketika Anak Saya bersekolah di TK, ada peristiwa yang masih membekas dalam ingatan. Pada suatu waktu, Ia beberapa kali pulang terlambat sampai rumah. Agak lama kami menyadarinya, sampai kemudian saya luangkan waktu untuk bertanya "Apakah ada kegiatan lanjutan di sekolah atau ada Issue apa hingga dijemputnya selalu sejam lebih lama? 

Jawaban Anak Saya sangatlah sederhana; dia harus menemani temannya di sekolah. Tak puas dengan jawabannya, saya dan istri kemudian bertanya pada guru mengenai apa yang terjadi. Guru pun kemudian menjelaskan bahwa Tara seringkali menjadi saksi ‘masalah’ yang terjadi antar temannya. Kadang ada temannya yang berebut tempat duduk, berebut teman bermain, dan cerita lainnya, khas anak TK yang sering kita dengar. Saya tanya apa hubungan Anak Saya dalam situasi itu? Belakangan kami baru tahu bahwa Ia sering berada diantara ‘masalah’, karena Ia sering berinisitif untuk menyelesaikan konflik antar teman sekelasnya. 

Pada kali yang lain, saya ingat betul Anak Saya pulang dengan sedikit memar luka di wajahnya. Ketika saya tanya, apa yang terjadi di sekolah? Dengan terisak dia mengatakan, wajahnya secara tak sengaja terkena lemparan buku. Guru memberitahu kami bahwa Ia terkena lemparan karena membela temannya yang bukunya diambil ketika belajar. Kami percaya, saat itu Ia diberikan kesempatan oleh gurunya ikut terlibat menyelesaikan masalahnya, tanpa orang tua yang (harus) selalu ikut campur. Saya juga senang karena ada nilai solidaritas dan membela temannya dari pilihan sikapnya. Saya yakin, emak dan bapak kekini-an punya banyak cerita seperti ini. 

Aku, partner mengajar, orang tua, dan murid ku
Santai saat waktu rehat lomba

Ditengah intrusi nilai yang menonjolkan personal achievement seperti ‘lebih pintar’, ‘lebih cerdas’, ‘lebih populer’, sebagai orang tua, kita perlu berpikir ulang mengenai ‘ukuran-ukuran’ ini. Kita tahu, bangsa Indonesia besar karena dalam sejarahnya, nenek moyang kita ditempa dan berjibaku dengan bermodalkan semangat kebersamaan. Saling meniadakaan ego individual, saling berlapang dada dan merelakan, sekaligus proaktif menemukan celah kontribusi. Value berbagi, kebersamaan inilah saya pikir warisan terbesar yang masih berada dalam akar budaya bangsa. Memiliki anak yang berprestatif merupakan kebahagiaan setiap orang tua, namun demikian, sebagai orang tua, seringkali kita ikut terpancing dengan jebakan ini. Sebagai titik sentral dalam pengasuhan anak, yang dilakukan orang tua, akan langsung tercermin dalam perilaku anak. Lantas apa yang akan kita wariskan kalau sebagai orang tua, mencontohkan perilaku menghalalkan segala cara, mengorbankan integritas demi predikat terbaik.  Tak jarang kita dengar ‘keajaiban’ sebagian orang tua, agar menang dalam sebuah perlombaan; mengkarbit proses, memanfaatkan celah teknologi, hingga memaksakan anak hingga kebahagiaan lenyap dari diri anaknya. 

Semangat bener nak 😅

Pada hari kemerdekaan ini, saya mengajak emak-emak dan bapak-bapak untuk saling mengingatkan. Memerdekakan anak kita untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, menjadi bagian penting dalam kemajuan anak. Menikmati proses, menciptakan kebahagiaan jangan sampai sirna dari anak kita. Saya bukan ahli parenting, namun saya percaya proses pengasuhan merupakan hasil keseimbangan kedua orang tua yang masing-masing memiliki pengetahuan, pengalaman, nilai-nilai yang terakumulasi sepanjang hidup, dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Dengan demikian, menciptakan support system (perkumpulan emak dan bapak, koordinasi dengan Kepsek dan guru) merupakan hal yang harus kita pastikan hadir dalam keseharian anak kita. Merdeka atas persepsi negatif, ukuran popularitas, perbandingan capaian merupakan hak segala orang tua. Untuk itu, mari kita wujudkan bersama! Merdeka!


Tabik, 
@ivanahda

Terima kasih kepada Bapak Kepala sekolah serta Ibu, dan Bapak guru, serta semua elemen sekolah yang berupaya keras menjadikan semua anaknya bermental juara. 

Tulisan ini didedikasikan kepada emak-emak kekinian yang telah berhasil membuat kompak semua orang tua kelas 1 bulan. 💪

Terima kasih juga kepada ananda sekalian, semua usaha yang dikeluarkan menambah kuat keyakinan kami bahwa ananda adalah JUARA di hati dan hidup kami. ❤

Oya, Anak yang dari tadi saya ceritakan adalah anak pertama kami. Kelak jika emak dan bapak bertemu dengannya, mohon berkenan untuk juga berbagi dengan anak kami. Saya yakin ada hikmah, kebijaksanaan yang bisa ditularkan dari pengalaman emak dan bapak disini, termasuk kebaikan yang berasal dari anaknya sendiri. Mohon maaf lahir batin 🙏

Pendidikan bukan hanya masalah siapa yang lebih baik, lebih pintar, tapi juga siapa yang lebih peduli.
Kejadian ini terjadi ketika aku, dan partner mengajarku bilang "Makannya yang rapih"

Seorang guru muda yang akan selalu belajar dari peserta didiknya, karena "Pembelajaran tidak hanya terjadi dari guru ke peserta didik, namun sebaliknya pun demikian".
Terimakasih Sudah Membaca

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Komentar tanpa moderasi tapi saya akan perhatikan setiap komentar.
I Love your comment EmoticonEmoticon