Juli
2021
Tampaknya
ini jadi bulan berat bagi keluargaku. Kami silih berganti bertemu virus
pembunuh itu. Hingga tuhan mempertemukannya dengan ibu.
Ibu
kelompok rentan yang sering dibicarakan. Dan ibu sudah sampai di titik
paling lemahnya. Tidak cukup kuat melawan penyakit yang menjadi pelengkap
penggerogot hidup ibu dua tahun kebelakangan.
Ibu
sudah tidak perlu sakit. Ibu sudah tidak perlu merasakan sakit-sakit itu
lagi.
Dan
Bapak kehilangan ibu. Pihak yang paling disakiti dalam skenario Tuhan ini. Ia
kehilangan wanitanya. Wanita yang menemani hampir selama 40 tahun.
Bodohnya
Aku,
Aku
memilih untuk membenci bapak. Karena bagiku itu cara paling mudah untuk
melupa. Melupa segala kebaikan dan kenangan indah tentang mereka. Aku
membencinya sepaket dengan ibu.
Entah
muncul karena apa, dan untuk alasan apa
Semua
ingatanku tetang mereka melulu hal yang menyakitkan. Yang kusadari, pada
akhirnya, adalah mekanisme diri untuk tak larut dalam kesedihan yang
muncul. Yang bahkan belum benar-benar muncul. Kututupi
erat. Kekanak-kanakan.
Setahun
berlalu, aku masih menghukum bapak dengan beragam ingatan buruk. Yang
entah kenapa sangat melegakan. Karena saat itu aku tau bahwa jika tak
membencinya, ingatanku akan mereka melulu menghasilkan tetasan air mata
Hingga
pada akhirnya,
Dua
bulan yang lalu. Aku dihardik kenyataan. Mereka kembali dipertemukan
oleh waktu. Bahwa orang yang kubenci adalah yang paling berhak
membenciku. Karena aku tak pernah menyempatkan diri untuk hadir dalam duka
Bapak. Bapak melalui semuanya sendirian, bapak kehilangan Wanita sekaligus
dunianya.
Kali
ini aku yang berhak dihukum.
Kusadari
bahwa bapak juga menghukum diri atas kepergian wanitanya. Sayang yang dulu dia
kucurkan sendirian ke istrinya tanpa
bantuan dariku, Anak mereka. Aku bagai anak yang tak tau balas budi. Aku baru
menyadarinya, sekarang. Dan aku, sangat-sangat menyesali.
Menyesal
bahwa tak bisa hadir dalam duka bapak. Duka yang harus Bapak pikul sendirian,
hingga duka itupun menggerogoti tubuhnya. Sosok gagah itu jatuh atas dukanya
sendiri, yang melalui dukanya di tempat mereka dipisahkan oleh
waktu. Bapak bagai seorang yang pincang, tak tau arah tujuan, dan sangat
memerlukan pertolongan. Dan aku, kala itu, alih-alih menemaninya berduka malah
memilih membencinya.
Sekali-lagi
aku sungguh menyalahkan diri.
Sekarang aku tidak bisa berbicara apa-apa kepada Bapak. Aku hanya bisa bilang
“Dicky
Minta Maaf, Pak. Maaf Bapak harus melalui duka itu sendirian”
Komentar tanpa moderasi tapi saya akan perhatikan setiap komentar.
I Love your comment EmoticonEmoticon