Itu mungkin kata paling sederhana, tapi juga paling kuat untuk menggambarkan tujuh tahun mengenal Pak Kepala. Namun, rasanya terlalu singkat jika hanya berhenti di kata itu. Maka, izinkan saya merangkai kenangan agar perjalanan tujuh tahun ini terasa lebih istimewa.
Saya masih ingat jelas, pertengahan musim hujan tahun 2018. Aula Dewi Sartika menjadi saksi pertemuan pertama kita. Saat itu, bapak menyapa dengan kalimat yang sederhana namun membekas:
“Pak Dicky, ya?”
Sejak momen itu, saya baru sadar bahwa bapaklah sosok yang selama ini sabar membalas pesan WhatsApp saya menjelang hari penting itu. Maafkan ya, Pak, atas segala kerepotan yang saya timbulkan. 🙏😁
Lalu, kenangan melompat ke beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19. Saat itu, saya menghadapi keluhan besar dari orang tua murid—tantangan pertama yang membuat saya benar-benar panik. Orang tua datang langsung, menyampaikan kekecewaan tanpa ragu. Namun bapak tetap tenang, mendengarkan dengan penuh kesabaran, lalu menjawab dengan pengetahuan dan pengalaman yang luas. Saya tidak pernah lupa kalimat bapak setelah sesi panjang itu:
“Tenang aja, Dik. Semua ini pasti selesai kok.”
Kalimat sederhana, tapi mampu meredakan ketakutan saya. Sejak saat itu, saya melihat Pak Kepala bukan hanya sebagai pemimpin sekolah, tapi sebagai sosok bijaksana yang jauh melampaui pengalaman saya dengan kepala sekolah lain. Saya yakin, jika bukan bapak yang memimpin, kisah saya di sekolah ini mungkin akan berbeda.
Tentu, ada banyak momen pendisiplinan. Sesi di ruang kepala sekolah yang membuat saya merasa kurang disiplin, teguran yang kadang terasa berat, hingga cerita legendaris tentang “nasi goreng akreditasi.” Semua itu, pada akhirnya, membentuk saya menjadi guru yang lebih baik. Terima kasih, Pak, sudah bersusah payah mendidik saya dengan cara yang kadang keras, tapi selalu penuh makna.
Di balik semua itu, ada begitu banyak kenangan hebat bersama bapak. Kenangan yang mungkin tidak selalu saya ceritakan, tapi tetap tersimpan rapi di hati. Dan hari ini, saya ingin menuliskannya agar tidak hanya menjadi ingatan, melainkan juga sebuah penghargaan untuk perjalanan tujuh tahun yang luar biasa.
Saya masih ingat, pernah berangkat bersama delapan orang teman. Empat motor melaju beriringan, masing-masing berboncengan dua. Saat jam makan siang, bapak sempat melihat rombongan itu lewat. Tentu bapak tahu siapa saja yang ada di sana. Namun, beberapa saat kemudian, saat rapat berlangsung, hanya nama saya yang disebut dengan pesan singkat penuh makna:
“Kalau jam makan siang, anak kelasnya jangan ditinggal ya.”
Ada juga kisah lain yang tak kalah lucu. Suatu hari saya salah mengenakan celana pramuka. Warnanya memang coklat, tapi tidak segelap coklat khas seragam pramuka. Tak lama kemudian, bapak mengunggah foto bersama pengurus pramuka di grup, lengkap dengan caption:
“Berikut contoh penggunaan seragam pramuka yang benar.”
Ah, kisah-kisah kecil itu ternyata cara bapak mendisiplinkan saya. Teguran yang sederhana, kadang terasa menggelitik, tapi justru meninggalkan kenangan yang hangat. Kini, jika saya mengingatnya kembali, rasanya seperti potongan cerita yang membentuk perjalanan saya—bahwa setiap detail, bahkan yang tampak sepele, punya arti besar dalam mendidik dan menempa saya.
Seorang guru muda yang akan selalu belajar dari peserta didiknya, karena "Pembelajaran tidak hanya terjadi dari guru ke peserta didik, namun sebaliknya pun demikian".
Terimakasih Sudah Membaca
Komentar tanpa moderasi tapi saya akan perhatikan setiap komentar.
I Love your comment EmoticonEmoticon